KONSEP PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Pengendalian hama terpadu pada
awalnya muncul akibat penggunaan pestisida kimia yang berlebihan pada
pertanian. Setelah pesitsida sintetis dikembangkan banyak kalangan yang
berpendapat bahwa masalah hama telah selesai dan diperkirakan bahwa pada suatu
saat hama yang biasa merusak tanaman hanya dapat ditemukan di museum. Pestisida
sintetis semakin dikembangkan dan penggunaannya semakin luas yang mengakibatkan
timbulnya resistensi, residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia, munculnya
hama baru, dan pencemaran terhadap lingkungan.
Pada pertengahan dekade 1960-an
penggunaan pestisida kimia mulai banyak dikenal petani sejalan dengan berbagai
program pemerintah untuk meningkatkan produkasi beras yang banyak dikenal
dengan istilah revolusi hijau (green revolution). Program pemerintah tersebut
telah berhasil meningkatkan produksi yang sangat mengagumkan. Indonesia sebagai
salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia mencapai swasembada pada
tahun 1984. Keberhasilan tersebut tidak diikuti dengan pengurangan penggunaan
pestisida, bahkan jumlah formulasi yang digunakan semakin bertambah. Akibatnya
masalah hama di Indonesia bukannya berkurang bahkan semakin bertambah. Wereng
punggung putih dapat dikatakan tidak pernah menjadi masalah di Sulawesi
Selatan, menjadi salah satu hama yang dikuatirkan oleh petani. Tungau tebu,
Iceria sacharium belum pernah dilaporkan menyerang tanaman padi kemudian juga
ditemukan di Sulawesi Selatan (Baco et al. 1991, Baco et al. 1992). Kasus
resurgensi muncul pada awal tahun 1980-an. Kasus lain adalah munculnya biotipe
baru, ras-ras baru hama dan penyakit tanaman pangan dan banyak lagi yang tidak
dikemukakan satu persatu dalam tulisan ini.
Meskipun prinsip PHT telah
diterima oleh pemerintah dan mulai masuk dalam GBHN III di zaman pemerintahan
Orde Baru, namun pelaksanaannya masih banyak menggu-nakan pestisida karena
keraguan dari pihak penentu keputusan mengenai keefektifan dari PHT tersebut.
Masalah hama dan penyakit tanaman pangan yang begitu banyak terutama akibat
penggunaan insektisida yang kurang bijaksana mengakibatkan lahirnya Inpres 3,
1986. Inti dari impres tersebut yaitu pengendalian hama dan penyakit di
Indonesia dilakukan secara terpadu, dan melarang penggunaan 57 jenis
insektisida pada tanaman padi. Akan tetapi apabila program tersebut berhasil
seharusnya telah berjuta-juta petani memahami PHT akibat efek ganda (multiplier
effect) sebagai ciri dari sekolah lapang. Inpres tersebut juga disusul
kebijakan pengurangan subsidi pestisida secara bertahap dan seluruhnya berakhir
tahun 1989.
PHT merupakan suatu metodologi
yang mengandung prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan para
pengguna/petani menciptakan kondisi yang optimal bagi lingkungan tanaman
sehingga hama tidak menjadi masalah. PHT berusaha mensinergikan antara komponen
pengendalian yang sesuai untuk lingkungan tertentu sehingga hasil pengelolaan
menjadi lebih baik. PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir
tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan
lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah : 1)
produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani
meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi
tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan.
PHT adalah upaya yang terencana dan terkoordinasi untuk
melembagakan penerapan prinsip-prinsip PHT oleh petani dalam usahataninya serta
memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat umum dalam
rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Tujuan Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) adalah :
a.Menjamin kemantapan swasembada pangan.
b.Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani.
c.Terselenggaranya dukungan yang kuat
1. Sifat Dasar
Pengendalian Hama Terpadu
Sifat dasar pengendalian hama
terpadu berbeda dengan pengendalian hama secara konvensional yang saat ini
masih banyak dipraktekkan. Dalam PHT, tujuan utama bukanlah pemusnahan,
pembasmian atau pemberantasan hama. Melainkan berupa pengendalian populasi hama
agar tetap berada di bawah aras yang tidak mengakibatkan kerugian secara
ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi, melainkan pembatasan (containment).
Program PHT mengakui bahwa ada suatu jenjang toleransi manusia terhadap
populasi hama, atau terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hama. Dalam keadaan
tertentu, adanya invidu serangga atau binatang kemungkinan berguna bagi
manusia. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu yang ada di lapangan
harus diberantas, tidak sesuai dengan prinsip PHT.
Pengendalian hama dengan PHT
disebut pengendalian secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau
teknik pengendalian yang dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara
pengendalian tertentu, seperti memfokuskan penggunaan pestisida saja, atau
penanaman varietas tahan hama saja. Melainkan semua teknik pengendalian sedapat
mungkin dikombinasikan secara terpadu, dalam suatu sistem kesatuan pengelolaan.
Disamping sifat dasar yang telah dikemukakan, PHT harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologi. Dan penerapannya tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan yang merugikan bagi mahluk berguna, hewan, dan manusia,
baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
2. Langkah-langkah
Pengembangan PHT
Pengembangan sistem PHT
didasarkan pada keadaan agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada
suatu daerah boleh jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT
harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani
setempat. Para ahli dan lembaga-lembaga internasional seperti FAO menyarankan
langkah pengembangan PHT agak berbeda satu sama lain. Namun diantara
saran-saran mereka banyak persamaan. Perbedaannya terutama terletak pada
penekanan dan urutan-urutan langkah-langkah yang harus ditempuh.
Menurut Smith dan Apple (1978), langkah langkah pokok yang
perlu dikerjakan dalam pengembangan PHT adalah sebagai berikut:
• Langkah 1. Mengenal
Status Hama yang Dikelola
Hama-hama yang menyerang pada suatu agroekosistem, perlu dikenal
dengan baik. Sifat-sifat hama perlu diketahui, meliputi perilaku hama, dinamika
perkembangan populasi, tingkat kesukaan makanan, dan tingkat kerusakan yang
diakibatkannya. Pengenalan hama dapat dilakukan melalui identifikasi dan hasil
analisis status hama yang ada.
Dalam suatu agroekosistem, kelompok hama yang ada bisa
dikategorikan atas hama utama, hama kadangkala (hama minor), hama potensil,
hama migran dan bukan hama. Dengan mempelajari dan mengetahui status hama,
dapat ditetapkan jenjang toleransi ekonomi untuk masing-masing kategori hama.
Satu jenis serangga dalam kondisi tempat dan waktu tertentu
dapat berubah status, misal dari hama potensil menjadi hama utama, atau dari
hama utama kemudian menjadi hama minor.
• Langkah 2.
Mempelajari Komponen Saling Tindak dalam Ekosistem
Komponen suatu ekosistem perlu ditelaah dan dipelajari.
Terutama yang mempengaruhi dinamika perkembangan populasi hama-hama utama.
Termasuk dalam langkah ini, ialah menginventarisir musuh-musuh alami, sekaligus
mengetahui potensi mereka sebagai pengendali alami.
Interaksi antar berbagai komponen biotis dan abiotis,
dinamika populasi hama dan musuh alami, studi fenologi tanaman dan hama, studi
sebaran hama dan lain-lain, merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk
menetapkan strategi pengendalian hama yang tepat.
• Langkah 3.
Penetapan dan Pengembangan Ambang Ekonomi
Ambang ekonomi atau ambang pengendalian sering juga
diistilahkan sebagai ambang toleransi ekonomik. Ambang ini merupakan ketetapan
tentang pengambilan keputusan, kapan harus dilaksanakan penggunaan pestisida.
Apabila ternyata populasi atau kerusakan hama belum mencapai aras tersebut,
penggunaan pestisida masih belum diperlukan.
• Langkah 4.
Pengembangan Sistem Pengamatan dan Monitoring Hama
Untuk mengetahui padat populasi hama pada suatu waktu dan
tempat, yang berkaitan terhadap ambang ekonomi hama tersebut, dibutuhkan
program pengamatan atau monitoring hama secara rutin dan terorganisasi dengan
baik.
Jaringan dan organisasi monitoring yang merupakan salah satu
bagian organisasi PHT, perlu dikembangkan agar dapat menjamin ketepatan dan
kecepatan arus informasi dari lapangan ke pihak pengambil keputusan
pengendalian hama dan sebaliknya.
• Langkah 5.
Pengembangan Model Deskriptif dan Peramalan Hama
Dengan mengetahui gejolak populasi hama dan hubungannya
dengan komponen-komponen ekosistem lainnya, maka perlu dikembangkan model
kuantitatif yang dinamis. Model yang dikembangkan diharapkan mampu
menggambarkan gejolak populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada waktu yang
akan datang. Sehingga, akan dapat diperkirakan dinamika populasi, sekaligus
mempertimbangkan bagaimana penanganan agar tidak sampai terjadi ledakan
populasi yang merugikan secara ekonomi.
• Langkah 6.
Pengembangan Srategi Pengelolaan Hama
Strategi dasar PHT adalah menggunakan taktik pengendalian
ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkordinasi. Strategi PHT mengusahakan
agar populasi atau kerusakan yang ditimbulkan hama tetap berada di bawah aras
toleransi manusia. Beberapa taktik dasar PHT antara lain :
1. Memanfaatkan
pengendalian hayati yang asli ditempat tersebut,
2. Mengoptimalkan
pengelolaan lingkungan melalui penerapan kultur teknik yang baik,
3. Penggunaan pestisida secara selektif.
Srategi pengelolaan hama berdasarkan PHT, menempatkan
pestisida sebagai alternatif terakhir. Pestisida digunakan, jika teknik
pengendalian yang lain dianggap tidak mampu mengendalikan serangan hama.
3. Contoh Penerapan
Pengendalian Hama Terpadu
Berdasarkan yang berjudul ”Pengendalian Hama dan Penyakit
Secara Terpadu (PHT) pada Padi Sawah” oleh Atman Roja Peneliti Madya pada Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat. Dari penelitian tersebut
di paparkan pengendalian hama dan penyakit yaitu:

Pengendalian
hama tikus
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan spesies dominan
pada pertanaman padi. Hama tikus perlu dikendalikan seawal mungkin, mulai dari
pengolahan tanah sampai tanaman dipanen. Cara pengendaliannya yaitu:
a. Sanitasi lingkungan dan manipulasi habitat
b. Kultur teknis
c. Fisik dan mekanis
d. Biologis
e. Kimiawi Penerapan sistem sistemperangkap bubu (SPB) atau
Trap Barrier System (TBS).

Pengendalian
hama penggerek batang
Penggerek batang merusak tanaman padi pada berbagai fase
pertumbuhan. Empat jenis penggerek batang padi yang umum ditemukan adalah;
Penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas), penggerak batang padi
bergaris (Chilo suppressalis), penggerek batang padi putih (Tryporyza
innotata), dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens).
Penghendaliannya adalah:
• Panen padi sawah dengan cara memotong tunggul jerami
rendah supaya hidup larvanya terganggu dimana larva yang ada dibagian bawah
tanaman tertinggal dan membusuk bersama jerami.
• Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan mengambil
kelompok telur pada saat tanaman berumur 10-17 hari setelah semai, karena hama
penggerek batang sudah mulai meletakkan telurnya pada tanaman padi sejak di
pesamaian.
• Harus diamati intensif sejak semai sampai panen. Kalau
populasi tinggi dapat dikendalikan dengan insektisida butiran (karbofuran,
fipronil) dan insektisida 17 cairan (dimehipo, bensultap, amitraz, dan
fipronil) yang diaplikasikan bila populasi tangkapan ngengat 100 ekor/minggu
pada perangkap feremon atau 300 ekor/minggu pada perangkap lampu. Insektisida
butiran diaplikasikan bila genangan air dangkal dan insektisida cair bila
genangan air tinggi.
• Penangkapan massal ngengat jantan dengan memasang
perangkap feromon 9- 16 perangkap setiap hektar untuk mengamati spesies
dominan.

Wereng
coklat atau wereng punggung putih
Wereng coklat dan wereng punggung putih (Sogatella furcifera
H.) seringkali menyerang tanaman secara bersamaan pada tanaman stadia
vegetatif. Pengendaliannya adalah:
•Di daerah endemis wereng coklat, pada musim hujan harus
ditanam varietas tahan wereng coklat.
•Gunakan berbagai cara pengendalian, mulai dari penyiapan
lahan, tanam jajar legowo, pengairaninttermitten, takaran pupuk sesuai BWD.
•Monitor perkembangan hama wereng punggung putih dan
perimbangan populasi wereng coklat dan musuh alami pada umur 2 minggu setelah
tanam sampai 2 minggu sebelum panen.

Siput
murbei atau keong mas (Pomace canaliculata Lamarck)
Kerusakan terjadi ketika tanaman masih muda.Pengendaliannya
adalah:
• Mencegah introduksi keong mas pada areal baru. Bila keong mas
masuk ke dalam areal sawah baru akan berkembang cepat terutama pada lahan yang
selalu tergenang dan akan sukar dikendalikan.
• Pengendalian harus berkesinambungan, walaupun tanaman
sudah berumur 30 HST, pengendalian harus tetap dilakukan untuk mencegah
serangan pada pertanaman berikutnya.
• Secara mekanis dapat dilakukan dengan mengambil dan
memusnahkan telur dan keong mas baik dipesemaian atau di pertanaman secara
bersama-sama, membersihkan saluran air dari tanaman air seperti kangkung, dan
19 mengembalakan itik setelah panen. Untuk mengurangi kegagalan panen, harus
menyiapkan benih lebih banyak.
• Pada stadia vegetatif, dapat dilakukan:
1. Pemupukan P
dan K sebelum tanam;
2. Menanam bibit yang agak tua (>21 Hari) dan jumlah
bibit lebih banyak;
3. Mengeringkan sawah sampai 7 HST;
4. Tidak
mengaplikasikan herbisida sampai 7 HST;
5. Mengambil keong mas atau telur dan
memusnahkan;
6. Memasang saringan pada pemasukan air untuk menjaring siput;
7. Mengumpan dengan menggunakan daun talas atau daun pepaya;
8. Aplikasi
pestisida anorganik atau nabati seperti saponin dan rerak sebanyak 20-50 kg/ha
sebelum tanam pada caren sehingga pestisida bisa dihemat.

Walang
sangit (Leptocorisa spp.)
Hanya menyerang tanaman yang sudah berbulir. Pengendalian
dengan insektisida dilakukan jika populasinya melebih ambang kendali yaitu pada
saat setelah stadia pembungaan ditemukan rata-rata >10 ekor/rumpun.

Penyakit
tungro dan wereng hijau
Pengendalian dengan waktu tanam yang tepat dan rotasi
varietas telah berhasil di Sulawesi Selatan namun pada kondisi pola tanam tidak
teratur, pergiliran varietas kurang berhasil, seperti di Bali dan Jawa Tengah.
Pustaka
Roja, Atman. 2009. Pengendalian Hama Tdan Penyakit Secara PHT pada Padi Sawah
Komentar
Posting Komentar